Foto bersama peserta-pengisi acara ( Sumber : cc.indonesia ) |
Sosialisasi HKI (Hak Kekayaan Intelektual)
tampaknya menjadi semakin menarik bagi kalangan pelaku ekonomi kreatif. Pada
era digital ini, banyak kreator konten yang kerap menyebarkan karyanya melalui
berbagai media sosial. Selain popularitas yang menguntungkan kreator, dikhawatirkan
kecepatan peredaran konten beresiko adanya pelanggaran terhadap hak kreator pada
jutaan konten yang terunggah setiap detik. Di sisi lain, jutaan pasang mata
yang menyaksikan konten bertebaran ingin mengetahui, seberapa jauh konten
tersebut dapat digunakan secara bebas?
Sebanyak 100 peserta mengikuti sosialisasi
Hak Kekayaan Intelektual Bagi Pelaku Ekonomi Kreatif yang bertajuk “Kenali
Hakmu, Bagikan Karyamu!”. Sosialisasi tersebut terselenggara berkat kolaborasi antara
Creative Commons Indonesia (CCID) dengan Badan Ekonomi Kreatif Indonesia
(BEKRAF). Materi acara diisi oleh pakar hak cipta, pihak BEKRAF, serta
pelaku ekonomi kreatif yang berpengalaman terkait lisensi dan hak cipta.
Peserta sosialisasi ini terdiri atas para
pelaku ekonomi kreatif, mulai dari desainer, musisi, penulis, hingga peminat
seni. Sebelum terpilih menjadi peserta, saya mengajukan beberapa poin yang
ingin saya pahami melalui formulir seleksi, antara lain:
- Seberapa jauh konten yang beredar di media massa boleh didaur-ulang/tiru modifikasi oleh pihak lain, baik untuk kepentingan komersil maupun non-komersil.
- Memahami lebih jauh tentang Lisensi Creative Commons (CC) dan hak-hak pemilik konten kreatif.
- Bagaimana langkah yang harus dilakukan para pelaku kreatif agar hak atas karya miliknya terlindungi oleh Undang-Undang.
Pemaparan oleh pemateri ahli serta pengalaman
para narasumber mampu menjawab keingintahuan saya yang berniat membuat konten
seni rupa melalui med-sos.
Bertempat di Eastparc Hotel Yogyakarta pada
10 April 2019 lalu, peserta mendapatkan teori seputar dasar “Hak Cipta untuk
Pelaku Seni” melalui Prof. Tomi Suryo Utomo,
S.H., LL.M., Ph. D.. dengan dipandu moderator, Harsa Wahyu Ramadhan. Prof. Tomi menyebutkan bahwa hak intelektual terdiri
atas (1) Desain Industri, (2) Merek
(misalnya produk, simbol), (3) Hak Cipta, (4) Paten, (5) Desain Sirkuit Teknis Terpadu, (6) Rahasia Dagang, dan (7) Perlindungan Varietas Tanaman.
Pada dasarnya, pembuat dan pemilik karya (Red.
kreator) memiliki dua hak atas karyanya, yaitu hak ekonomi dan hak moral. Hak
ekonomi berkaitan dengan royalti/keuntungan yang diperoleh kreator melalui
penjualan produk, kerjasama dan penggunaan produk bersama pihak lain, ataupun
dengan langkah lainnya. Sedangkan hak moral menyinggung hal keutuhan dan nama
yang melekat pada karya, meskipun diperjualbelikan. Dengan kata lain, hak moral
merupakan hak kepemilikan dan hak sebagai pencipta.
Sumber : Dokumentasi pribadi |
Bersama Prof. Tomi, Mas Anggung Suherman, salah satu personel Bottlesmoker, menceritakan pengalamannya dalam bermusik. Selama proses kreasinya, Bottlesmoker menggunakan software-software yang legal dalam menghasilkan musik elektronik. Menanggapi tentang karya-karya yang dibagikan melalui berbagai platform secara bebas, Mas Anggung menyebutkan bahwa musik yang berlisensi CC memang bebas, tetapi tidak gratis.
Musik yang telah diunggah ke berbagai media
dan platform dengan mudahnya diunduh dan dimodifikasi oleh pihak lain. Salah
satu manfaat dari kemudahan tersebut ialah kemungkinan kolaborasi dengan pihak
lain sehingga tercipta karya yang baru. Lalu, dengan fenomena tersebut,
bagaimana musisi memperoleh royalti dari karyanya? Nah, “Pertunjukan dan penjualan merchandise merupakan hal yang bisa diupayakan musisi untuk mendapatkan hak ekonominya,” tutur Mas Anggung.
Dalam diskusi bersama peserta, Prof. Tomi
menyatakan bahwa hak cipta tidak melindungi ide, melainkan perwujudan ide.
Artinya ide yang dieksekusi menjadi sebuah karya, entah itu dalam bentuk
lukisan yang telah selesai, musik, atau bahkan kata-kata dalam sebuah karangan
buku. Pada dasarnya, hak cipta adalah dicatatkan
bukan didaftarkan. Sebagian orang mendaftarkannya dengan tujuan mendapatkan
perlindungan/kekuatan hukum. Seseorang diperbolehkan mereplikasi judul yang
sama terhadap suatu karya, namun konten harus diangkatdengan sudut pandang yang berbeda.
Ketika mendapati suatu karya tanpa nama (No
Name) dan kita ingin memanfaatkannya sebagai referensi, bagaimana sebaiknya?
Karya yang berupa buku dapat dilihat dari media penerbitnya. Misalkan karya
berbentuk musik, maka dapat dilihat produsernya. Bagaimanapun, sumber harus
dicantumkan untuk menghindari plagiarisme dan pelanggaran terhadap karya cipta.
Di
tengah sosialisasi ini, ada peluncuran buku “Made With Creative Commons: Panduan Praktis Penerapan Model Bisnis Terbuka oleh Creative Commons”
karya Paul Stacey dan Sarah Hinchliff Pearson yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Ano Jumisa. Seharusnya ada bedah buku, tetapi
waktunya sangat terbatas. Sekilas,
Hilman Fathoni (salah satu pengaji terjemahan buku tersebut sekaligus Pemimpin Proyek Sertifikasi Perwakilan
Creative Commons Indonesia 2017-2019) menjelaskan
garis besar konten dalam buku, di antaranya tentang sumberdaya digital,
lisensi Creative Commons, serta 24 studi kasus berkaitan dengan lisensi Creative
Commons. Yang tertarik dengan buku ini boleh tengok ke bit.ly/madewithccID dan mengunduhnya secara gratis.
Usai istirahat
yang
diiringi musik dari grup band Sungai,
dilanjutkan diskusi kedua. Sesi
kedua mengambil judul “Menciptakan Inovasi dalam Pengembangan Ekonomi Kreatif”.
Dipandu Bapak Ivan Lanin (biasanya dipanggil Uda Ivan Lanin), sesi ini diisi
oleh tiga narasumber, yaitu Bapak Ari Juliano Gema (Panggil Mas Ari juga boleh)
dari BEKRAF, Mas Wowok (Wok The Rock) dari Yes No Wave Musik, dan Rania Amina
(Sebuah nama panggung kata rekannya, embuh asline 😄) dari GimpScape ID. Pertama, Pak
Ari memaparkan sejumlah informasi terkait pendirian BEKRAF yang didasari oleh Peraturan
Presiden No.6 Tahun 2015. BEKRAF terbagi menjadi 6 deputi, antara lain Deputi Riset,
Edukasi, & Pengembangan; Deputi Akses Permodalan; Deputi Infrastruktur;
Deputi Pemasaran; Deputi Fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual dan Regulasi;
serta Deputi Hubungan Antarlembaga dan Wilayah.
BEKRAF telah dan terus berupaya melaksanakan
berbagai kegiatan untuk mendukung kelangsungan usaha ekonomi kreatif dan
mengangkat ekonomi komunitasnasional.
Inovasi-inovasi yang dilakukan guna meningkatkan
kualitas sumberdaya manusia (SDM) dengan tetap bertumpu pada kearifan lokal.
Pembatik dan barista adalah “salah dua” profesi yang dapat memperoleh
sertifikasi dari BEKRAF. Pada kesempatan lain, lembaga ini juga menggelar
acara “Coding Mum”, dengan memberikan pelatihan coding kepada para ibu rumah
tangga.
IKKON merupakan salah satu langkah yang diadakan dengan menempatkan pelaku kreatif pada rural area. Hasilnya antara lain, penggunaan batubara sebagai material utama pembuatan aksesoris dan pewarna, bukan hanya sebagai bahan bakar; Bacil (Batik Cilik) dan Cacil (Canting Cilik) sebagai media belajar membatik bagi anak-anak; Aplikasi Biima meruapakan salah satu aplikasi (Mobile Apps) yang menampilkan informasi dasar seputar HKI; dan sebagian lainnya mungkin boleh cari sendiri di website BEKRAF, ya!
IKKON merupakan salah satu langkah yang diadakan dengan menempatkan pelaku kreatif pada rural area. Hasilnya antara lain, penggunaan batubara sebagai material utama pembuatan aksesoris dan pewarna, bukan hanya sebagai bahan bakar; Bacil (Batik Cilik) dan Cacil (Canting Cilik) sebagai media belajar membatik bagi anak-anak; Aplikasi Biima meruapakan salah satu aplikasi (Mobile Apps) yang menampilkan informasi dasar seputar HKI; dan sebagian lainnya mungkin boleh cari sendiri di website BEKRAF, ya!
Sumber : Dokumentasi pribadi |
Kreativitas dan inovasi sangat berperan dalam dinamika usaha suatu komunitas
maupun individu. Pak Ari mengingatkan, meskipun era kita telah berganti menuju Revolusi Industri 4.0, tidak semua hal akan digantikan oleh teknologi dan mesin. Mengutip pernyataan World Economic Forum, bahwa kecerdasan
emosional dan kreativitas manusia tidak dapat diwakilkan oleh robot pintar sekalipun. Itulah mengapa, ekonomi kreatif tidak ada matinya.
Lagi,
karya itu (bisa) dideklarasikan dengan Creative Commons (CC), bukan didaftarkan
pada
CC. Maksudnya, lisensi CC dapat digunakan untuk melindungi hak cipta atas suatu karya. Karya
dengan lisensi CC memiliki kekuatan hukum, juga batas yang boleh-tidak boleh dilakukan oleh pihak ketiga serta kode digital sesuai atribusinya. Dideklarasikan-dicatatkan, bukan didaftarkan? Pahami pelan-pelan (ini yang nulis juga mikir keras, semoga
tidak salah). Pencatatan karya dapat melalui surat pernyataan. Katanya (Prof. Tomi atau Pak Ari, lupa),
zaman dulu orang-orang mencatatkan karyanya melalui surat pos yang dikirim serta ditujukan dari — menuju — ke alamatnya
masing-masing.
Why? Inilah fungsinya
stempel atau cap pos. Melalui stempel pos, yang notabene dari lembaga resmi, akan
terdapat tanggal pengiriman sebagai “waktu pencatatan
karya”.
Berbeda dengan pencatatan karya, pendaftaran hak cipta harus melalui serangkaian
pemeriksaan-verifikasi. Apa saja yang bisa didaftarkan? Hak cipta dapat didaftarkan
untuk merek, paten, desain, dan lain-lain. Sebagai contoh, merek Aqua (Ini bukan promosi). Aqua memiliki desain kemasan serta logo/simbol yang unik sehingga
menjadi ciri khasnya. Bahkan, produk ini mengakar dalam keseharian kita “apapun
merek
Air Minum Dalam Kemasannya, menyebutnya tetap AQUA”. Tidak salah juga sih, kan, aqua artinya air. When a brand have a power!
Menurut Undang-Undang
Merek,
bukan hanya benda/konten visual saja yang dijadikan merek, ternyata suara/musikpun juga bisa. Ingat musik awal saat menonton animasi Tom
& Jery, kan? Atau nada dering telepon seluler yang logo-geraknya “Tangan terulur—tergenggam” dengan semboyannya
“Connecting
People”, itu? Nah, itulah dua contoh musik sebagai merek, bukan
hanya
visual saja.
Terakhir,
tambahan pertanyaan dari mahasiswa ISI Yogya,
“Dalam pertunjukan seni tari, hak ciptanya bagaimana untuk unsur-unsur di
dalamnya (kostum, musik, gerakan)?” —— Lebih kurang seperti itu poinnya. Ternyata,
lumayan agak rumit ya…. Seni tari umumnya terdiri dari unsur gerak (koreografi)
dengan durasi dan kompleksitas tersendiri, juga disertai iringan musik, dan
didukung kostum yang serasi. Apabila hendak dicatatkan atau didaftarkan, hak cipta ketiga komponen tari tersebut sesuai dengan kepemilikan masing-masing (kreatornya).
(Sumber : Dokumentasi pribadi) |
Melewati pukul 21.00 WIB, seminar dan diskusi resmi ditutup. Alunan musik dari Bottlesmoker menemani peserta hingga lebih dari setengah jam. Alhamdulillah.
Terima kasih dan apresiasi
sebesar-besarnya untuk penyelenggara,
khususnya Creative Commons Indonesia dan
Badan Ekonomi Kreatif Indonesia atas acara bermanfaat
dan keren ini. Special thanks, teman-teman GimpScape
ramah dan superbaik!
- - - - - - -
Tulisan ini adalah catatan pribadi, sebagian materi dari Prof. Tomi dan diskusi ada ketertinggalan.
Apabila ada kesalahan
boleh koreksi agar segera diperbaiki. Boleh juga membagikannya dengan mencantumkan sumbernya, ya…. Matursuwun!
No comments:
Post a Comment