Thursday 30 November 2017

Curhat Pengamen "Tobat"

Ilustrasi Pengamen

Sebagai anak rantau, mudik adalah satu momen untuk menemukan banyak hal mengesankan. Perjalanan yang memancing rindu untuk kembali dari perantauan. Apalagi kalau jarak rumah ke daerah rantau hanya berkisar 100 km, bisa mudik setiap bulan atau bahkan setiap minggu (jika tidak sibuk). Seperti awal-awal masuk kuliah, walaupun hanya libur pada hari Minggu (beneran, kayak anak SD-SMA daerah), saya tetap memaksa diri untuk mudik minimal sebulan sekali.

"Anak kampus belakang" yang mayoritas menyandang sebagai "anak eksakta" (kecuali anak FIB), biasa menghabiskan Senin-Jumat dengan rutinitas siklus kuliah-tugas terstruktur-praktikum-laporan, sehingga menguras energi dan emosi #eh. Dan..., hanya angkatan saya yang se-Prodi di deretan kampus belakang, yang pada hari Sabtu tetap ada kegiatan kuliah (permanen, tapi satu semester #tenang). Mata Kuliah Bahasa Indonesia, yang jumlah mahasiswanya lebih dari 100 orang sekelas, tetapi harus tetap fokus meskipun duduk di pojokan (dosennya sangat awas ke seluruh penjuru ruangan). Sedangkan pada semester-semester berikutnya sering diadakan kuliah umum atau kuliah pengganti di akhir pekan.

Meskipun kuliah hari Sabtu berakhir sekitar pukul 11.00, saya biasanya akan berangkat ke terminal setelah salat Asar. Awal kuliah, hanya bus-bus jurusan Jogja-Solo yang sering saya tumpangi, duduk sejak asar tapi berangkat sesaat sebelum maghrib atau bahkan hampir tengah malam (kalau ini terpaksa, karena tidak ada bis lain yang searah). Jadi, saya terbiasa pulang rumah dan tiba di rumah pada pukul 21.00 (Sabtu malam) bahkan pukul 01.00 (Minggu dini hari). Numpang tidur sebentar. Kemudian, mau tak mau harus  kembali lagi ke Purwokerto setelah zuhur, supaya tiba saat masih waktu asar.

Suatu sore saat kembali ke Purwokerto, saya naik bus PO Mu**o yang basisnya di Gombong. Kebetulan bus hari itu berpenumpang sedikit dan bisa dihitung dengan jari, kurang dari sepuluh orang. Kecepatan berkendaranya pun lumayan lambat, 3 jam ditempuh dari Prembun sampai Perempatan Buntu, diselingi ngetem sekitar 15 menit. Kondisi bus sangat mengkhawatirkan. Lantai bolong-bolong, jalan aspal di bawah tempat duduk dapat terlihat saat menunduk. Pintu depan tidak dapat menutup sempurna, diikat dengan tali tambang warna hijau. Cat badan bus mengelupas di sana-sini. Border jendela besi yang membuat pelipis biru ketika kejedot berkali-kali.

Bus yang mengantar penumpang tidak lebih dari 10 orang, berhenti di Perempatan Buntu (Buntu yang ini nama tempat ya... bukan buntu karena tidak bisa lewat). Menunggu beberapa menit lamanya, kondektur bus meminta kami turun, berganti dengan bus lain yang menuju Purwokerto. Selembar uang sepuluh ribu rupiah dikembalikan sebagai pengganti ongkos. Sang sopir menjelaskan bahwa busnya tidak kuat jika melanjutkan perjalanan, kondisinya memprihatinkan, juga didukung dengan jalan menanjak dan berkelok.

Satu jam lebih penumpang menunggu, berdiri di tepi jalan. Bus PO Mu**o akhirnya bertolak kembali ke arah timur, ke Gombong atau entah ke mana. Masih dalam kondisi sabar menanti, dari arah barat (Cilacap) muncul sebuah bus yang kemudian berhenti menurunkan belasan penumpang dan langsung putar balik begitu lampu hijau menyala. Ternyata, penumpang-penumpang yang baru turun adalah bernasib sama, bukan hanya dioper tapi juga ditinggalkan. Hiks...

Saya berdiri sambil bersandar di depan toko yang sudah tutup, lelah menunggu bus yang kaca depannya ada tulisan "PURWOKERTO". Tiba-tiba, ada seseorang mendekat, ikut nempel tembok. Seorang pria berusia sekitar 30 tahun, rambutnya lurus sebahu, mukanya mirip seorang penyanyi religi tanah air. Ia mengenakan kaos hitam, celana selutut dengan banyak kantong, dan menggendong ransel di punggungnya. Saya hanya  melihat sekilas dan kembali fokus pada kendaraan yang lalu-lalang.

" Mba, mau ke mana?", Sapanya.

"Mau ke Purwokerto...", Jawab saya singkat.

"Saya juga... Ngeselin banget. Udah diturunin, gak dicariin penyambung. Mba, Purwokerto-nya mana? "

"Purwokerto Utara, Karangwangkal..., Mas."

"Wah, bisa bareng, saya Arcawinangun. Tahu Arcawinangun Estate, 'kan?" Potongnya.

Di tengah obrolan kami, azan maghrib berkumandang dari masjid yang terletak di dekat persimpangan. Dia berpamitan untuk shalat maghrib ke masjid, sementara saya tetap berdiri menunggu bus yang tidak kunjung terlihat. Usai shalat, orang tersebut kembali berdiri di sebelah saya.

"Belum dateng, Mba?", "Lama, ya?"

"Belum, belum ada yang lewat sama sekali, Mas. Tadi dari naik bus dari mana, Mas?"

"Saya baru dari Cilacap, Mba, dari rumah calon istri." Katanya sambil tersenyum," Dua bulan lagi resepsi, doa-in lancar ya, Mba."

"Aamiin..."

Seorang seniman jalanan (atau pengamen, kebanyakan orang menyebutnya) lewat di hadapan kami, sambil memainkan gitar (ukulele) dengan nada tidak teratur. Ia menengok ke arah kami, kemudian berlalu pergi ke arah lain.

"Mba, keganggu nggak, kalo ada pengamen di bus?"

"Tergantung, Mas. Kalo bener-bener nyanyi, nggak maksa minta, sih biasa aja. Kadang, kan ada yang minta-maksa, sambil ngasih do'a-do'a yang lebih terkesan mengancam. Bukan do'a, sih."

"Emang bener sih, Mba. Saya dulu pengamen, lho. Tapi, udah tobat."

"Tobat?"

"Iya, lho Mba. Bener, kata Mba tadi. Nggak semua pengamen, "bener-bener ngamen". Ada yang jujur, ada juga cuma buat mabok (miras). Dulu saya ngamen cuma iseng-iseng. Sering ngamen, naik-turun bus, tidak pulang ke rumah. Padahal, uang dari orang tua ya cukup. Lama-lama sadar, ngamen lebih banyak hal buruknya. Nganggu orang lain. Alhamdulillah sekarang kerja di stasiun tv swasta, R**I." *sensor

*(Wah)*


"Ya, yang penting bisa milih kalo mau ngasih. Kalo ada rejeki, yang bagus ya dikasih."

"Maafin ya, mba..." (lho???)

Pria yang mengaku seorang mantan pengamen tersebut mengisahkan perjalanan panjangnya hingga bisa bekerja di stasiun televisi swasta. Bahkan, "masa kelam" yang pernah ia kerjakan. Seketika, ia menunjukkan lengan kanannya. Bekas tato dengan motif yang tidak jelas telah merusak kulitnya.

Belasan menit berlalu, sebuah bus yang telah sesak oleh penumpang muncul dari arah timur, berhenti beberapa menit di perempatan. Meskipun tempat duduk tak tersisa, kami (penumpang-penumpang yang terlantar) tetap berebut untuk naik, sebab tidak banyak bus ekonomi lain yang akan menuju Purwokerto pada malam hari.

Percakapan saya dengan Mas "Pengamen Tobat" berakhir saat naik bus. Semua penumpang rela berdesakan (sambil berdiri) selama sejam hingga tiba di Terminal Purwokerto. Sebelum masing-masing tenggelam di antara penumpang-penumpang lain, ia sempat menawarkan kontak (nomor HP) supaya bisa ke utara (Karangwangkal & Arcawinangun) bersama. Akan tetapi, akhirnya kami tetap menuju tempat tinggal dengan kendaraan pilihan masing-masing.

Selamat malam!













Sketsa Bunga Mawar