Monday, 5 February 2018

Menapak Kota Batik-Pekalongan

      
Salah satu peserta English Camp di Sungai Lolong, Pekalongan (Sumber: Dokumentasi pribadi).

Sebuah perjalanan mampu memberikan pengalaman, ilmu, dan berbagai pelajaran hidup yang tidak kita peroleh di daerah tempat tinggal. Kita dapat menangkap pemikiran orang-orang baru dalam perjalanan, memberi sumbangan sudut pandang dari berbagai arah agar kita melihat lebih luas. Lebih lapang.

Pertengahan Mei tahun 2016, saat sedang ramai-ramainya acara Mata Najwa on Stage di Alun-alun Purwokerto, saya melipir ke pantura, menyempatkan diri mengikuti sebuah kegiatan camp yang diadakan oleh sebuah LSM kerelawanan di Lolong, Karanganyar, Pekalongan. Camping yang diadakan selama 2 hari 1 malam tersebut diikuti oleh peserta dari berbagai kalangan, mulai dari siswa sekolah menengah, guru, mahasiswa, dan profesi lain.

Tidak hanya berasal dari Indonesia (Jawa Tengah), ada juga relawan dari luar negeri (Jerman, Jepang) yang tengah mengabdi di Pekalongan. Selama kegiatan berlangsung, bahasa yang digunakan tentu sesuai tema, English, walaupun kadang diselingi Bahasa Indonesia dan Jawa, haha. Tau sendiri lah, namanya juga sedang belajar. Acara ini diisi dengan berbagai kegiatan yang asyik, seperti outbond, berbagai games hingga diskusi.

Perjalanan yang (tidak begitu) terencana terkadang memang sering menghadapkan pada hal-hal tidak terduga. Sebuah kota asing yang belum pernah dikunjungi dan hanya mengenal namanya melalui sebuah peta, membuat kita berpikir "Bagaimana kondisi jalan dan sudut-sudut kotanya?"; "Seramah apakah warganya?"; "Amankah bagi pendatang?"; dan mungkin juga muncul pertanyaan-pertanyaan lain yang mengganggu.

Sabtu pagi (14/5/2016), saya meninggalkan Purwokerto menuju Pekalongan dengan menggunakan kereta Kamandaka, paling pagi. Perjalanan dengan kereta dari Purwokerto melintasi beberapa daerah, yaitu Kab. Brebes (Stasiun Bumiayu), Kab. Tegal (Stasiun Slawi), Kota Tegal (Stasiun Tegal), Kab. Pemalang (Stasiun Pemalang), dan saya turun di Kota Pekalongan (Stasiun Pekalongan).

Perjalanan dengan kereta cukup menyenangkan walaupun matahari baru beranjak saat memasuki wilayah Bumiayu. Suguhan pemandangan di luar jendela sangat indah. Selain hamparan sawah (tanaman padi & bawang) yang hijau, Gunung Slamet, "Atap Jawa Tengah" baru lenyap dari pandangan mata saat memasuki area Pemalang (lupa, gak motret 😑).

Saat tiba di St. Bumiayu, sepasang suami-istri duduk tepat di bangku depan saya. Selang beberapa menit kereta berjalan, Si Ibu minta saya untuk bertukar tempat duduk dengan tempat suami beliau. Ternyata, Si Bapak pusing-mabuk dan tidak kuat jika duduk di atas kendaraan yang berjalan membelakangi tujuan (depan). Suami-istri tersebut bergantian menjelaskan sakit yang dialami Si Bapak, saya lupa nama penyakit yang disebutkan.

Sekitar pukul 09.00, KA Kamandaka berhenti di Kota Pekalongan. St. Pekalongan termasuk golongan stasiun besar tetapi, loket pemesanan dan penjualan tiket masih kurang jumlahnya, melihat kelas stasiunnya yang besar. So, kalau ingin beli tiket kereta go-show usahakan lebih awal. Saat turun dari kereta, saya lanjut keluar stasiun. *Eh, keluar dari parkiran lewat mana sih? #Nyasar di lautan roda dua.

Agak bingung dan kaget, turun keluar stasiun langsung ketemu jalur Pantura, kecepatan kendaraan yang melintas luar biasa (kayak di sirkuit balap kali ya? #Halah, padahal belum pernah ke sirkuit balap). Setelah bertanya-tanya ke beberapa orang arah Stadion Kraton (atau Stadion Kota Batik dan sekarang telah berganti nama Stadion Hoegeng), akhirnya berhasil menyeberang jalan ke arah utara. Jarak yang tidak terlalu jauh dan melelahkan bagi orang suka berjalan kaki (contohnya, saya).

Sepanjang jalan, beberapa kali bertanya ke beberapa orang bagian pintu gerbang (depan) stadion, ternyata warga sekitar juga bingung (apalagi yang baru sekali datang). Sebelum istirahat dan duduk di antara kumpulan anak SMP, saya membeli snack dan minuman kaleng di sebuah warung dekat jalan raya. Ternyata pemilik warung adalah orang Purwokerto, terjadilah sesi curhat karena sebelumnya saya memberi info sedikit tentang asal dan tujuan ke Pekalongan.

Lebih dari 15 menit menunggu, info dan tanda-tanda dari peserta maupun panitia acara tak kunjung muncul. Pesan terkirim ke nomor salah satu panitia yang sejak pendaftaran saya hubungi.

"Peserta sudah berkumpul di depan pintu gerbang..." (Inti) jawaban yang saya terima melalui telpon.

Saat ditanya di sebelah mana dari papan wall climbing, ternyata panitia tersebut juga tidak paham. Setelah bosan duduk tidak jelas, saya mencari sendiri-mengitari stadion (eh, baru seperempat stadion sepertinya), dan... yeay, Alhamdulillah bertemu orang yang mengenakan kaos putih bertuliskan "nama LSM".

Lama (beneran lamaaa) setelah absensi peserta yang akan berangkat dari Kota Pekalongan, kami bersiap-siap untuk menuju lokasi camping. Peserta dibagi menjadi beberapa tim untuk kendaraan pemberangkatan. Kebetulan saya naik truk yang berisi anak-anak SMP. Tidak ada satu orang pun yang saya kenal di perjalanan ini. Dalam hati terus berdoa, agar jangan sampai ditanya "Dari sekolah mana?" *Eh. Hampir terkabul.

Perjalanan menuju Lolong, Karanganyar, Kab. Pekalongan menghabiskan waktu lebih dari 1 jam. Lama juga ternyata. Setelah meninggalkan jalan raya, medan yang ditempuh pun menjadi jalan yang tenang, hutan (hutan rakyat) tumbuh di kanan-kiri jalan beraspal yang koyak, tetapi kelokannya cukup memacu adrenalin. Kalau pernah ke Bandung atau Banjarnegara, agak mirip lah ya...

Tiba di Lolong, ternyata sudah ada rombongan anak-anak SMA beserta gurunya yang datang ke lokasi terlebih dahulu dengan angkot. Semua peserta berkumpul, turun ke tepi Sungai Lolong (area camp) untuk perkenalan dan pembentukan kelompok. Pengelompokan berdasarkan dengan nama  kota atau kabupaten yang sepulau. Aku kebagian Kelompok Bali, tapi lupa apa nama kotanya. *Tuh, kan! Kelamaan ndak ditulis, banyak lupanya.

Pemandangan dari sebelah tenda, tapi harus nengok ke atas. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)


Sebelum pasang tenda, peserta dipersilakan ishoma (istirahat, salat, makan). Karena kelompok setenda anak-anak SMA, saya menyesuaikan mereka, supaya aktivitasnya bebarengan. Kami (saya, Woro, dkk) pergi ke sebuah masjid, yang bercat putih-hijau. Sebagian bangunan masjid tampak belum selesai dibangun, mungkin karena minimnya dana.

Terdapat plang KKN suatu perguruan tinggi di bagian depan masjid. Yang paling memprihatinkan adalah bagian kamar mandi dan closet yang tidak berpintu, serta bak yang tingginya tidak mencapai setengah meter. Ya Allah... Akhirnya, kami cari tumpangan ke warga.

Camp (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Peserta camp: Putri, Woro, dan....? (Sumber : Dokumentasi pribadi)

 Kegiatan malam diisi sharing kerelawanan, games, pentas seni, dan seharusnya ada "Night Adventure" diganti acaranya karena hujan.

Saat pentas seni, saya duduk sebagai penonton. Tidak ada persiapan bahkan niat untuk tampil di depan. Lha, wong bakat seninya hanya oret-oretan. Saat gerimis turun, baru sadar ternyata saya telah tidur beberapa menit. Kemudian, saya memutuskan untuk pindah ke tenda, mengambil posisi tidur terbaik, sebelum akhirnya dibangunkan tengah malam.

Sekitar tengah malam, hujan turun deras banget euy... Tenda yang awalnya aman, lama-lama air hujan merembes masuk terkena sundulan kepala, lanjut terbentuk aliran air di kanan-kirinya. Eh, yang di luar sudah pada ribut buat ngungsi. Akhirnya semua pindah ke aula. Karena hujan deras, Night Adventure pun dibatalkan untuk menghindari risiko yang tidak diharapkan.

Sebagai pengganti Night Adventure (yang gagal terlaksana), pagi harinya diadakan kegiatan outbond. Permainan selama outbond dibagi pada beberapa pos. Usai sarapan dan senam secukupnya, setiap tim berangkat satu per satu.


Sumber GREAT of Pekalongan
 
Menjelang zuhur, kegiatan outbond selesai. Para peserta yang kembali terakhir masih tampak mengantri di kamar mandi Lolong Adventure, membawa peralatan mandi untuk bersih diri. Ada waktu beberapa saat untuk istirahat, sebelum bongkar-bongkar tenda dan packing.

Setelah semua beres, kendaraan untuk pulang ke Kota Pekalongan pun diplot-plot kembali.

Sebelum kembali ke Kota Pekalongan, saya berbincang-bincang dengan salah satu panitia tentang acara camping. Bagaimana kesan-kesan terkait kegiatannya. Tiba-tiba dia menanyakan kepulangan saya, "Jadwal keretanya, jam berapa?", "Sudah pesan tiket apa belum?"

Walaupun pada hari Senin ada jadwal kuliah, saya (terlalu) santai, belum pesan tiket pulang ke Purwokerto pada hari yang sama. Jadwal kereta terakhir, berangkat sekitar pukul 19.00. Yang tanya panik, saya juga terbawa suasana panik. Alhamdulillah, kendaraan kloter pertama belum diberangkatkan meskipun pintu belakang sudah ditutup. Akhirnya saya duduk di samping sopir, berangkat bersama pengejar kereta lain yang akan pulang ke Semarang.

Perjalanan pulang menuju Kota Pekalongan ini adalah pertama kalinya saya pusing dan mual duduk tepat di sebelah sopir, untung tidak muntah. Bagaimana tidak mual? Jalannya kayak roller-coaster, dan saya duduk dihimpit dua orang bertubuh gempal. Sesak napas. Sungguh. Sebelah kiri, peserta dari Semarang dan yang kanan (Pak Sopir) adalah seorang perwira TNI AD.

Sepanjang perjalanan, kami membicarakan banyak hal, mulai dari yang remeh hingga yang penting. Mulai dari konser, makanan, lalu lintas, hingga masalah negara yang lain. Peserta dari Semarang memulai dengan membahas tentang makanan, khususnya perbandingan varian dan harga antara di Pekalongan dan di Semarang. Pak sopir pun menimpali dengan membandingkannya dengan daerah-daerah lain yang pernah beliau kunjungi dan bertugas.

Saat tahu saya berasal dari Purwokerto, tetapi  asli Kebumen, kami membicarakan tentang Benteng Van der Wijck (Gombong, Kebumen) terkait dengan TNI AD. Kemudian, kegiatan-kegiatan TNI di Purwokerto, khususnya di GOR Soesilo Soedarman (depan jendela kamar).

Ketika masuk wilayah agak ramai (mungkin termasuk Kota Pekalongan), saya melihat tulisan "Pekalongan Kota Santri". Kami terdiam sejenak. Tanpa diminta, Pak Sopir menjelaskan mengapa Pekalongan disebut Kota Santri. Beliau menyebutkan nama-nama ulama yang disegani di kota tersebut (tidak ada yang hapal 😁). Juga "sisi lain" Pekalongan.

Setelah lebih dari setengah perjalanan, kendaraan berhenti sebentar karena ada sedikit masalah. Sedikit lega, bisa istirahat menikmati udara segar. Beberapa waktu kemudian, perjalanan ke Pekalongan dilanjutkan.

Tiba di Kota Pekalongan, sebagian besar dari kami turun di seberang jalan pom bensin. Sebelum ke stasiun, saya membeli oleh-oleh. Sekitar pukul 16.30, saya memesan tiket kereta untuk pulang ke Purwokerto. Karena pemberangkatan kereta masih lama--2 jam lebih--dan tentu belum diizinkan check in, saya keluar stasiun kembali, jalan-jalan sambil mencari menu makan malam dan melihat-lihat kota yang baru pertama kali saya kunjungi.

Ratusan meter telah saya lalui dan hari mulai gelap, tetapi menu yang saya jumpai di warung-warung tenda entah mengapa kurang mengundang selera. Saya berbalik arah dan kembali ke stasiun. Akhirnya, saya membeli menu makan malam di dekat stasiun.


 Jalur Pantura, Depan Stasiun Pekalongan Menjelang Maghrib (Sumber: dokumentasi pribadi)

Ketika sudah diizinkan check-in, saya masuk untuk istirahat, lalu salat. Usai salat, saya duduk di ruang tunggu penumpang. Meskipun waktu keberangkatan masih lebih dari sejam, saya hanya fokus ke arah peron dan area sekitar ruang tunggu.

Jumlah calon penumpang yang sama-sama menunggu kereta sedikit, tidak mencapai 10 orang. Sepi. Hanya musik keroncong yang memecah kesunyian, selain kereta yang lewat atau berhenti-lalu berangkat kembali. Hampir semua sibuk dengan benda di tangan masing-masing, gawai, buku, atau peralatan makan.

Sekitar pukul 19.00, KA Kamandaka berhenti sesaat untuk menurunkan dan menaikkan beberapa penumpang, kemudian melanjutkan perjalanan ke arah barat. Saya duduk di tempat yang sekelilingnya sudah terisi.

Sebelah kanan saya adalah sekelompok ibu-ibu (muda) yang baru pulang dari menghadiri sebuah acara-semacam pesta. Dilihat dari penampilan mereka dari kalangan berada, pakaian yang harganya (mungkin) tidak murah, make-up di wajah yang menutupi bentuk muka aslinya. Bahkan ada seorang yang menceritakan profesi suaminya, seorang fotografer yang sekali bekerja "dihargai" 24 juta rupiah, kadang lebih. Nguping-tak nguping tetap saja terdengar.

Sayangnya, beberapa dari mereka berperilaku layaknya orang yang tidak pernah punya tempat sampah. Sampah bungkus snack yang mereka konsumsi ditinggalkan begitu saja di atas kursi penumpang. Padahal, sudah tersedia kantong plastik untuk mengumpulkan sampah. Saya hanya bisa ngelirik dari seberang, pojok kursi lain.

Ada lagi penumpang depan saya, ibu muda pebisnis (kayaknya). Ibu itu nyerocos, menjelaskan sebuah sebuah produk di dalam buku kepada penumpang di sebelahnya. Saya mendengarkan dan mengamati, sesekali merespons pernyataan yang ditujukan ke saya (dan mungkin) untuk menarik perhatian saya.

Selain make-up di wajah yang berlebihan, perhiasan yang dikenakan beliau juga sangat mencolok. Karena saya pergi sendirian, kewaspadaan saya meningkat. Bukan bermaksud su'udzon, tetapi jaga-jaga. Apalagi, saat beliau menjabat erat tangan saya dalam durasi yang tidak singkat. Di situ, saya mengeraskan zikir (meski di dalam hati), khawatir lengah lalu rugi sendiri.

Ketidakantusiasan saya, sepertinya membuat beliau memilih asyik berbincang dengan sebelahnya. Hingga akhirnya penumpang tersebut turun terlebih dahulu di St. Bumiayu. Hamdalah.

Menjelang tengah malam --sekitar pukul 23.00, kereta api Kamandaka tiba di stasiun pemberhentian terakhir, Stasiun Purwokerto. Sedikit ngaret dari jadwal. Alhamdulillah, kembali dengan sehat dan selamat.

*Catatan pengalaman pribadi

Thursday, 28 December 2017

Gowes Purwokerto-Purbalingga


Pendopo Dipokusumo Kabupaten Purbalingga (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Libur akhir pekan, waktunya menyegarkan otak dan tubuh kembali. Minggu ke-3 November lalu, saya "nekat" bersepeda sendiri ke Purbalingga... dan Alhamdulillah kembali dengan sehat wal'afiat. Sebenarnya, tekad gowes telah saya rencanakan sejak bulan September, yang akan saya kerjakan dengan sebuah syarat: harus dilakukan ketika penelitian usai!

Awalnya, akan ada seseorang yang akan menemani dengan sepeda motor, khawatir saya menyerah di tengah perjalanan. Namun, akhirnya pun saya hanya berangkat seorang diri. Saya berangkat pukul 06.25, keluar dari tempat parkir penghuni asrama.

Rute yang saya tempuh merupakan jarak terpendek Purwokerto menuju Alun-Alun Purbalingga, rute biasa saat saya mengambil sampel untuk penelitian.  Jika melalui jalur Sokaraja, jarak tempuh lebih panjang dan tentu saja khawatir "nyasar" karena kondisi jalurnya sangat "berbeda."

Mulai dari Jalan Dr. Soeparno, atmosfer "weekend" begitu terasa, saya jumpai sekelompok pesepeda  ke arah selatan. Sedangkan yang beberapa orang asyik jalan-jalan, jogging, dan ada juga pemotor yang telah rapi dengan kostum olahraganya.

Mengikuti Dua Pesepeda di Jalan Gn. Slamet (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

 Ketika melintasi Pertigaan Jalan A. Jaelani-Jalan Dr. Soeparno, ada 2 orang pesepeda di depan. Sepeda yang mereka kayuh melaju dengan santai. Saya "mengekor" di belakang hingga ujung Jalan Gn. Slamet, Pabuaran. Berharap kami searah untuk beberapa waktu, tetapi di pertigaan saya bertolak ke timur sedangkan mereka ke arah sebaliknya.

Sepanjang jalan ke arah timur, lebih banyak rombongan pesepeda yang melaju. Ada yang melambaikan tangan, ada yang melempar senyum, ada yang tidak melirik sedikitpun, dan ada pula yang menyapa "halo!" meski berkemudi. Tentu saja, saya tidak mengenal mereka: satu pun. Hal tersebut adalah satu bonus bagi sesama pesepeda. Saling sapa.

Jalur yang saya lewati cukup nyaman meskipun merupakan salah satu jalur utama Banyumas-Purbalingga. Selain volume kendaraan bermotor yang tidak terlalu tinggi, sisi kanan-kiri jalan juga didominasi lahan persawahan. Bahkan, saat memasuki Purbalingga udara terasa lebih sejuk. Pohon-pohon peneduh menaungi banyak bagian, dan juga mungkin faktor ketinggian tempat.

Melintasi Salah Satu Jalur Hijau (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Lebih dari setengah jam mengayuh, saya berhenti dan menepikan kendaraan. Melenturkan otot usai mengayuh di jalan yang bergelombang (dan terlalu lama-5 bulan-bergelut di laboratorium). Setelah merasa cukup, saya kembali memacu pedal sepeda.

Memasuki wilayah kota, ibukota Kabupaten Purbaligga, langit mulai berangsur kelabu. Jalanan masih terlihat sepi, hanya sedikit kendaraan yang berlalu-lalang. Saya kira karena Car Free Day, jalan tersebut memang sudah mendekati alun-alun. Jalur pedestrian di kanan-kiri jalan tampak masih baru, belum lama dibangun. Serbuk-serbuk semen bertabur di permukaan.

Suasana Pagi Mendekati Alun-Alun Purbalingga (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
 
Panggung Peringatan Hari Guru dan HUT PGRI Purbalingga (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Beberapa ratus meter sebelum menjagkau alun-alun, saya merasa ada satu "keinginan" yang tidak akan terlaksana pagi tersebut. Ya... Alun-alun memerah. Rupanya ada peringatan Hari Guru dan HUT PGRI. Semula berniat akan memarkir sepeda di hamparan rumput, kemudian rebahan di sebelah sepeda #niat. Yasudahlah.

Karena tidak mungkin membawa sepeda "naik" ke alun-alun, saya memilih untuk memarkirnya di halaman Masjid Agung Purbalingga yang terletak di seberang jalan, sebelah barat alun-alun. Rintik-rintik ringan mulai turun. Akan tetapi, tidak bertambah intensitasnya.

Sepeda saya parkir di dekat pos penjagaan, beberapa meter dari pintu gerbang. Saya berjalan  menuju Museum Prof. Dr. Soegarda Poerbakawatja, di depan pagarnya terparkir puluhan sepeda yang didominasi sepeda tua. Suasana di depan museum juga tidak kalah ramai. Saya duduk di salah satu lantai semen tinggi pada area parkir, menjauhi kerumunan.

Sebelumnya, hanya ada dua orang yang duduk bersebelahan dengan saya. Beberapa saat kemudian datang seorang laki-laki paruh baya sembari menyapa dua orang di sebelahku di atas motornya yang melaju lambat. Mungkin kolega di tempat kerjanya. Usai parkir, beliau mendekat ke arah kami bertiga dan mengajak saya bersalaman. Bingung, tapi ya bagaimana lagi. Dikira saya peserta jalan sehat juga 'kali, ya?

Halaman Museum Prof. Dr. R. Soegarda Poerbakawatja (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Pintu tengah museum dipenuhi oleh kerumunan orang, saya urung untuk masuk. Saya juga tidak tahu apakah museum melayani pengunjung atau tidak. Kemudian saya berjalan mengitari alun-alun yang telah "memerah". Karena tidak ada kawan mengobrol, saya memutuskan kembali ke masjid.

Di dalam masjid, tampak sedang diadakan kajian. Gerimis mulai meningkat intensitasnya. Saya beristirahat di beranda masjid sebelah kiri dan mengamankan sepatu di bawah naungan atap penghubung tempat wudu dan beranda. Setelah berwudu, saya salat duha. Salah satu marbut (penjaga, pengurus) masjid meminta saya mengerjakan salat di lantai 2, beberapa saat kemudian dilangsungkan ijab-kabul pernikahan.

Usai salat, saya kembali duduk di beranda masjid sebelah kiri. Di sebelah kanan saya, duduk ibu-anak yang sedang menikmati snack, lalu menawarkannya kepada saya. Sedangkan di sebelah kiri, belasan gadis remaja (MTs-SMK, berdasar seragam) berdesakan di pintu masjid, mereka heboh merekam-memotret prosesi ijab-kabul yang tengah berlangsung. Huh, dasar kids zaman now!

Masjid Agung Daarussalaam Purbalingga (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Lebih dari setengah jam, hujan mulai reda. Saya memtuskan untuk kembali pulang ke Purwokerto. Tiba di depan SMAN 1 Purbalingga, hujan kembali turun. Karena intensitasnya masih ringan, saya mengenakan topi dan masker sebagai pelindung, tanpa jas hujan.

Kondisi ban belakang sepeda karena sudah seminggu lebih belum ganti angin, padahal hampir setiap hari dikendarai. Saya berhenti di sebuah bengkel. Sang pemilik langsung keluar setelah saya mengucapkan salam dua kali.

Ban sudah ganti angin dan saya mulai membelokkan setang sepeda, tiba-tiba pemilik bengkel menanyakan asal dan tujuan bersepeda. Biasanya, orang-orang akan heran jika menjumpaiku bersepeda dengan jarak yang lumayan jauh dan sendirian. Tetapi, kali ini aku yang heran. Beliau pemilik bengkel justru berkata, "Wah, bagus. Hati-hati di jalan, ya!"

Satu jam lebih, perjalanan kembali ke Purwokerto berakhir. Langit berhias matahari terik. Tampak tidak ada bekas hujan yang turun sejak pagi.

Menara Mafaza dan Gn. Slamet Tertutup Awan, dari Lt. 5 Asrama (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

 Istirahat di asrama, naik ke lantai 5. Alhamdulillah!







Note:
Mafaza = Masjid Fatimatuzzahra (Grendeng, Purwokerto Utara)


Thursday, 30 November 2017

Curhat Pengamen "Tobat"

Ilustrasi Pengamen

Sebagai anak rantau, mudik adalah satu momen untuk menemukan banyak hal mengesankan. Perjalanan yang memancing rindu untuk kembali dari perantauan. Apalagi kalau jarak rumah ke daerah rantau hanya berkisar 100 km, bisa mudik setiap bulan atau bahkan setiap minggu (jika tidak sibuk). Seperti awal-awal masuk kuliah, walaupun hanya libur pada hari Minggu (beneran, kayak anak SD-SMA daerah), saya tetap memaksa diri untuk mudik minimal sebulan sekali.

"Anak kampus belakang" yang mayoritas menyandang sebagai "anak eksakta" (kecuali anak FIB), biasa menghabiskan Senin-Jumat dengan rutinitas siklus kuliah-tugas terstruktur-praktikum-laporan, sehingga menguras energi dan emosi #eh. Dan..., hanya angkatan saya yang se-Prodi di deretan kampus belakang, yang pada hari Sabtu tetap ada kegiatan kuliah (permanen, tapi satu semester #tenang). Mata Kuliah Bahasa Indonesia, yang jumlah mahasiswanya lebih dari 100 orang sekelas, tetapi harus tetap fokus meskipun duduk di pojokan (dosennya sangat awas ke seluruh penjuru ruangan). Sedangkan pada semester-semester berikutnya sering diadakan kuliah umum atau kuliah pengganti di akhir pekan.

Meskipun kuliah hari Sabtu berakhir sekitar pukul 11.00, saya biasanya akan berangkat ke terminal setelah salat Asar. Awal kuliah, hanya bus-bus jurusan Jogja-Solo yang sering saya tumpangi, duduk sejak asar tapi berangkat sesaat sebelum maghrib atau bahkan hampir tengah malam (kalau ini terpaksa, karena tidak ada bis lain yang searah). Jadi, saya terbiasa pulang rumah dan tiba di rumah pada pukul 21.00 (Sabtu malam) bahkan pukul 01.00 (Minggu dini hari). Numpang tidur sebentar. Kemudian, mau tak mau harus  kembali lagi ke Purwokerto setelah zuhur, supaya tiba saat masih waktu asar.

Suatu sore saat kembali ke Purwokerto, saya naik bus PO Mu**o yang basisnya di Gombong. Kebetulan bus hari itu berpenumpang sedikit dan bisa dihitung dengan jari, kurang dari sepuluh orang. Kecepatan berkendaranya pun lumayan lambat, 3 jam ditempuh dari Prembun sampai Perempatan Buntu, diselingi ngetem sekitar 15 menit. Kondisi bus sangat mengkhawatirkan. Lantai bolong-bolong, jalan aspal di bawah tempat duduk dapat terlihat saat menunduk. Pintu depan tidak dapat menutup sempurna, diikat dengan tali tambang warna hijau. Cat badan bus mengelupas di sana-sini. Border jendela besi yang membuat pelipis biru ketika kejedot berkali-kali.

Bus yang mengantar penumpang tidak lebih dari 10 orang, berhenti di Perempatan Buntu (Buntu yang ini nama tempat ya... bukan buntu karena tidak bisa lewat). Menunggu beberapa menit lamanya, kondektur bus meminta kami turun, berganti dengan bus lain yang menuju Purwokerto. Selembar uang sepuluh ribu rupiah dikembalikan sebagai pengganti ongkos. Sang sopir menjelaskan bahwa busnya tidak kuat jika melanjutkan perjalanan, kondisinya memprihatinkan, juga didukung dengan jalan menanjak dan berkelok.

Satu jam lebih penumpang menunggu, berdiri di tepi jalan. Bus PO Mu**o akhirnya bertolak kembali ke arah timur, ke Gombong atau entah ke mana. Masih dalam kondisi sabar menanti, dari arah barat (Cilacap) muncul sebuah bus yang kemudian berhenti menurunkan belasan penumpang dan langsung putar balik begitu lampu hijau menyala. Ternyata, penumpang-penumpang yang baru turun adalah bernasib sama, bukan hanya dioper tapi juga ditinggalkan. Hiks...

Saya berdiri sambil bersandar di depan toko yang sudah tutup, lelah menunggu bus yang kaca depannya ada tulisan "PURWOKERTO". Tiba-tiba, ada seseorang mendekat, ikut nempel tembok. Seorang pria berusia sekitar 30 tahun, rambutnya lurus sebahu, mukanya mirip seorang penyanyi religi tanah air. Ia mengenakan kaos hitam, celana selutut dengan banyak kantong, dan menggendong ransel di punggungnya. Saya hanya  melihat sekilas dan kembali fokus pada kendaraan yang lalu-lalang.

" Mba, mau ke mana?", Sapanya.

"Mau ke Purwokerto...", Jawab saya singkat.

"Saya juga... Ngeselin banget. Udah diturunin, gak dicariin penyambung. Mba, Purwokerto-nya mana? "

"Purwokerto Utara, Karangwangkal..., Mas."

"Wah, bisa bareng, saya Arcawinangun. Tahu Arcawinangun Estate, 'kan?" Potongnya.

Di tengah obrolan kami, azan maghrib berkumandang dari masjid yang terletak di dekat persimpangan. Dia berpamitan untuk shalat maghrib ke masjid, sementara saya tetap berdiri menunggu bus yang tidak kunjung terlihat. Usai shalat, orang tersebut kembali berdiri di sebelah saya.

"Belum dateng, Mba?", "Lama, ya?"

"Belum, belum ada yang lewat sama sekali, Mas. Tadi dari naik bus dari mana, Mas?"

"Saya baru dari Cilacap, Mba, dari rumah calon istri." Katanya sambil tersenyum," Dua bulan lagi resepsi, doa-in lancar ya, Mba."

"Aamiin..."

Seorang seniman jalanan (atau pengamen, kebanyakan orang menyebutnya) lewat di hadapan kami, sambil memainkan gitar (ukulele) dengan nada tidak teratur. Ia menengok ke arah kami, kemudian berlalu pergi ke arah lain.

"Mba, keganggu nggak, kalo ada pengamen di bus?"

"Tergantung, Mas. Kalo bener-bener nyanyi, nggak maksa minta, sih biasa aja. Kadang, kan ada yang minta-maksa, sambil ngasih do'a-do'a yang lebih terkesan mengancam. Bukan do'a, sih."

"Emang bener sih, Mba. Saya dulu pengamen, lho. Tapi, udah tobat."

"Tobat?"

"Iya, lho Mba. Bener, kata Mba tadi. Nggak semua pengamen, "bener-bener ngamen". Ada yang jujur, ada juga cuma buat mabok (miras). Dulu saya ngamen cuma iseng-iseng. Sering ngamen, naik-turun bus, tidak pulang ke rumah. Padahal, uang dari orang tua ya cukup. Lama-lama sadar, ngamen lebih banyak hal buruknya. Nganggu orang lain. Alhamdulillah sekarang kerja di stasiun tv swasta, R**I." *sensor

*(Wah)*


"Ya, yang penting bisa milih kalo mau ngasih. Kalo ada rejeki, yang bagus ya dikasih."

"Maafin ya, mba..." (lho???)

Pria yang mengaku seorang mantan pengamen tersebut mengisahkan perjalanan panjangnya hingga bisa bekerja di stasiun televisi swasta. Bahkan, "masa kelam" yang pernah ia kerjakan. Seketika, ia menunjukkan lengan kanannya. Bekas tato dengan motif yang tidak jelas telah merusak kulitnya.

Belasan menit berlalu, sebuah bus yang telah sesak oleh penumpang muncul dari arah timur, berhenti beberapa menit di perempatan. Meskipun tempat duduk tak tersisa, kami (penumpang-penumpang yang terlantar) tetap berebut untuk naik, sebab tidak banyak bus ekonomi lain yang akan menuju Purwokerto pada malam hari.

Percakapan saya dengan Mas "Pengamen Tobat" berakhir saat naik bus. Semua penumpang rela berdesakan (sambil berdiri) selama sejam hingga tiba di Terminal Purwokerto. Sebelum masing-masing tenggelam di antara penumpang-penumpang lain, ia sempat menawarkan kontak (nomor HP) supaya bisa ke utara (Karangwangkal & Arcawinangun) bersama. Akan tetapi, akhirnya kami tetap menuju tempat tinggal dengan kendaraan pilihan masing-masing.

Selamat malam!













Sketsa Bunga Mawar